Bertindak Positif

Masa mesti menunggu mood dulu?

Ahmad D. Rajiv
3 min readFeb 8, 2024
Photo by NASA Hubble Space Telescope on Unsplash

Salah satu makna yang aku petik dari buku Living the 80/20 Way karya Richard Koch adalah saban hari kita hanya perlu mengambil satu tindakan positif untuk memicu rangkaian tindakan positif berikutnya.

Jadi dalam salah satu pembahasan pada buku tersebut dijelaskan bahwa kesalahan yang kerap kita pegang adalah kita selalu saja menunggu perasaan menjadi turut positif untuk mau mengambil tindakan positif.

Menunggu mood untuk mau membaca, misalnya. Padahal tanpa perlu mood pun kita bisa tetap membaca. Tanpa perlu menunggu perasaan negatif menjadi positif, kita tetap bisa mengambil tindakan positif. Kita tetap bisa mengambil buku dan mulai membaca.

Ini yang aku rasakan setiap hari. Menunggu mood. Menunggu perasaan negatif menjadi positif untuk mau memulai sesuatu.

Perasaan negatif itu pun menjadi pangkal penundaan. Kita menunda untuk menunggu perasaan menjadi lebih baik. Beralih dari negatif menjadi positif. Namun seringkali situasinya jauh panggang dari api.

Satu penundaan bisa memberi efek domino kepada penundaan berikutnya, dan seterusnya hingga kita akhirnya sadar waktu sudah semakin habis dan kita belum melakukan apa-apa.

Kita pun membangun budaya SKS; sistem kebut semalam, karena waktu kita sudah terbuang begitu banyak sekadar untuk menunggu perasaan negatif berubah menjadi perasaan positif, alias menunggu mood.

Kalau kita mau belajar dari budaya Jepang, mereka punya pepatah yang berbunyi:

Menunda pekerjaan sama dengan menambah pekerjaan.

Orang-orang Jepang kalau kita perhatikan, senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk mengerjakan segala sesuatu pada waktu yang memang diperuntukkan untuk itu.

Sedangkan budaya bangsa kita, sayang sekali, masih mengental dengan anekdot, “Kalau bisa nanti, kenapa harus hari ini?”

Bagaimana seharusnya aku mengatasi ini?

Saban hari mengalami dilema semacam itu membuatku bertanya-tanya, apa kemalasan yang tak kunjung habis ini sudah berurat berakar dalam diri? Bagaimana aku bisa menyadari ini setiap hari dan lantas mengatasinya? Bagaimana memutus mata rantai penundaan ini?

Apa yang kini aku pikirkan adalah makna yang aku petik dari Living the 80/20 Way tadi; aku mesti tetap dan terus bertindak, mengambil suatu tindakan positif untuk dikerjakan, tanpa perlu menunggu mood.

Misalnya saat terbangun dari tidur, aku tidak perlu menunggu mood (apalagi menunggunya sambil scrolling medsos yang mana kenyataannya justru malah memperburuk mood) untuk mulai mengambil tindakan.

Aku sudah punya rangkaian ritual yang aku tahu seharusnya aku kerjakan di pagi hari dan aku sadari manfaatnya bagi pikiran dan perasaanku. Aku tinggal melakukannya saja.

Dari rangkaian ritual positif itulah berangsur-angsur pikiran dan perasaan positif akan hadir.

Jadi rumusnya; tindakan positif dulu baru pikiran dan perasaan positif akan hadir. Bukan sebaliknya.

Ibaratnya kalau dalam agama Islam, salat dan zakat dulu saja, nanti dengan itu iman akan hadir hingga menguat. Bukan menunggu iman kuat dulu baru mau salat dan zakat.

Kalau dalamnya konteks pekerjaan; ambil tindakan positif untuk pekerjaan itu dulu saja; buka laptop dan mulai mengetik, menulis catatan di buku, ataupun sekadar bikin mind map dan brainstorming, baru berangsur-angsur pikiran makin menguat dan perasaan makin mantap untuk terus menerus bekerja sampai selesai.

Seandainya pun tidak sampai selesai, minimal kita sudah maju satu langkah menuju ke sana.

Kemajuan sekecil apapun, tentu lebih baik dari pada tidak maju sama sekali.

Terimakasih sudah baca tulisan ini! Kalau berkenan, tolong beri clap (ikon tepuk tangan) sebagai tanda suka. Kamu bisa beri sampai 50 clap, jadi jangan ragu untuk beri sebanyak-banyaknya ya! Terima kasih atas apresiasinya 😊🙏

--

--

Ahmad D. Rajiv

Penulis Amatir | The Daydreamer | A Romantic | 500 Kata Saja | Kadang-kadang Puisi ✒️📓