Melarikan Diri ke Dunia Maya

Bagaimana Perasaanku Sebenarnya?

Ahmad D. Rajiv
3 min readNov 23, 2023
Aku yang tengah mencoba memikirkan kesadaran.

Aku kerap bertanya-tanya, mengapa kita mudah menenggelamkan diri dalam scrolling tanpa henti?

Jeda dari pekerjaan, scrolling. Saat menunggu sesuatu atau seseorang, scrolling. Sedang di perjalanan, scrolling. Sebelum tidur, scrolling. Baru bangun tidur, scrolling. Merasa bosan, scrolling. Sela-sela ngobrol sama seseorang, scrolling. Kadang makan juga sambil scrolling. Baru baca buku sebentar, kembali scrolling. Selepas shalat, saat bahkan belum berdoa, scrolling lagi.

Ada beberapa penjelasan saintifik mengenai kita yang terjebak dalam kebiasaan seperti itu. Penjelasan tersebut erat kaitannya dengan komposisi dunia maya itu sendiri, terutama media sosial, yang memang dirancang dengan tingkat adiksi tinggi.

Beragam penelitian telah membuktikan, bahwa desain dunia maya memang mengandung rancangan adiksi. Rancangan tersebut bisa berupa skema warna di Facebook atau Instagram, maupun algoritma di TikTok dan YouTube. Rancangan tersebut berperan agar tiap-tiap pengguna bisa menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya dan memberi perhatian sepenuh-penuhnya.

Waktu dan perhatian ini adalah produk yang dijual oleh perusahaan-perusahaan yang memelihara dunia maya. Mereka menjualnya kepada para pemasang iklan, yang menargetkan penjualan produk mereka sendiri kepada kita, konsumen.

Namun di balik penjabaran saintifik semacam itu, aku merasa ada juga dimensi lain yang memberi dorongan cukup signifikan terhadap adiksi ini.

Lubang di Dalam Hati

Soundtrack tulisan kali ini.

Aku rasa, saat aku tiba-tiba telah terjebak dalam scrolling tanpa henti, aku tengah berada dalam situasi di mana pikiranku melayang-layang atau perasaanku tengah tak karuan.

Sebabnya dapat bermacam-macam.

Macam-macam sebab itu membebani pikiran dan perasaan. Kemudian tanpa diri sendiri begitu sadari, aku sudah melarutkan diri ke dunia maya itu, scrolling tak henti-henti. Mencari-cari.

Apa yang aku cari?

Ini pertanyaan paling besarnya.

Apa sebenarnya yang aku cari saat melarikan diri ke dunia maya itu?

Validasi? Pembuktian diri? Pengakuan orang lain? Hiburan? Pengetahuan? Apa?

Aku rasa apa pun itu pada dasarnya pencarian tersebut semata-mata demi pikiran dan perasaan. Aku seperti mengira akan menemukan sesuatu untuk menenangkan pikiranku maupun memuaskan perasaanku.

Pertanyaan berikutnya, apa aku menemukannya?

Kenyataannya, dunia maya adalah rabithole. Lubang yang menyeret Alice ke Wonderland yang tak berujung. Saat kita tidak menyadari betul apa yang kita cari, kita akan terus menerus terjebak dalam pencarian itu dengan sejuta harapan bahwa kita akan menemukan “sesuatu” itu pada akhirnya.

Apa pada akhirnya kita mampu menemukan? Sayang sekali, seringkali tidak.

Kembalikan Kesadaran

Pada titik inilah aku rasa penting bagi kita untuk menjalankan praktek mindfullness. Suatu laku pemenuhan kesadaran agar pada tiap-tiap tindakan, kita telah tau betul apa tujuannya. Hasilnya apa, dan mengarahkan diri kita ke mana.

Mindfullness itu secara sederhana berarti kita tetap berusaha berada dalam “kesadaran”. Metodenya bisa bermacam-macam. Aku sendiri sudah beberapa waktu ini mencoba Bullet Journal sebagai alat untuk itu.

Ada juga metode meditasi. Atau berbagai metode jurnal pada umumnya. Bagi yang memiliki kadar keimanan tinggi, metodenya juga bisa berupa aktifitas peribadatan.

Bagi orang Islam hal tersebut dapat dipraktekkan melalui shalat secara khusyuk, misalnya.

Dengan suasana “kesadaran” itu, kita tentu setidak-tidaknya mampu mengurangi kadar keterjerumusan kita di dalam dunia maya. Kita bisa tetap terjaga dengan realita. Dengan kenyataan yang sebenar-benarnya.

Aku harap jika aku mampu menerapkan “kesadaran” itu, aku bisa meneguhkan hati untuk membatasi diri. Lalu mengubah kebiasaan. Seperti jika sebelumnya scrolling sejam, jadi tinggal setengah jam. Setengah jamnya lagi bisa aku isi dengan suatu hal yang bisa bermanfaat.

Seperti menulis catatan di Medium ini, misalnya.

Maka setengah jam itu pun kini terpenuhi, dan 500 kataku telah tercapai. Alhamdulillah.

--

--

Ahmad D. Rajiv

Penulis Amatir | The Daydreamer | A Romantic | 500 Kata Saja | Kadang-kadang Puisi ✒️📓