Mencintai Pekerjaan

Melakukan Demi Kehormatan Kehidupan

Ahmad D. Rajiv
3 min readNov 16, 2023
Photo by Glenn Carstens-Peters on Unsplash

Kerjakan yang kamu cintai, atau cintai yang kamu kerjakan.

Pepatah itu aku dengar bertahun-tahun lalu. Entah siapa yang menyebutnya pertama kali.

Kutipan pepatah ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku saat aku berhadapan dengan urusan pekerjaan.

Pepatah ini mengarahkan pikiranku untuk bertanya-tanya,

“Apa yang aku kerjakan inilah yang aku cintai?”

Saat menemukan jawaban “Iya!” di dalam diri, rasanya menyenangkan. Namun saat ternyata jawabannya, “Tidak!” aku mesti beralih ke pertanyaan berikutnya,

“Apa aku mampu mencintai pekerjaanku ini?”

Apa hanya dua pilihan ini saja yang ada dalam kehidupan? Mungkin memang iya. Atau juga tidak. Aku belum benar-benar tahu. Hanya saja tiap kali aku merasa bahwa tidak ada gunanya aku bekerja, atau pekerjaanku saat ini rasanya membosankan, aku teringat puisi yang digubah oleh W.S. Rendra:

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh

Hidup adalah untuk mengolah hidup

bekerja membalik tanah,

memasuki rahasia langit dan samodra,

serta mencipta dan mengukir dunia.

Kita menyandang tugas

kerna tugas adalah tugas.

Bukannya demi sorga atau neraka.

Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Puisi Rendra ini berjudul “Sajak Seorang Tua untuk Istrinya” yang terbit dalam antologi puisi beliau Sajak-sajak Sepatu Tua (1995).

Clip by Lies Hadi Shandy. https://www.youtube.com/@lieshadi57lsp

Bagaimana Rendra mengungkapkan hidup dalam puisi ini menusuk perasaanku. “…demi kehormatan seorang manusia.,” ungkapnya. Rendra seakan hendak menegaskan bahwa harga diri seorang manusia ada pada pekerjaannya. Manusia bernilai bagi kemanusiaannya hanya bila bekerja demi dirinya sepenuh-penuhnya.

Aku insafi dengan reflektif bahwa memang sebagai manusia diam tanpa melakukan apa-apa bukanlah suatu pilihan.

Jadi memang manusia mesti bekerja. Tidak lain dan tidak bukan semata-mata demi kehidupannya sendiri.

Kalau-kalau kita beruntung, kita bisa menemukan pekerjaan pada apa yang memang kita cintai. Namun seandainya pun kita tidak begitu beruntung, kita mesti belajar bagaimana mencintai apa yang sedapat-dapatnya kita kerjakan.

Sebagai generasi yang hidup di era internet, kita memiliki keberuntungan yang dulu tidak dimiliki oleh generasi sebelum kita.

Keberuntungan itu adalah semakin meluasnya spektrum dari istilah “pekerjaan” itu sendiri.

Jika dahulu orang-orang hanya bisa bekerja sebagai pegawai, dokter, polisi dan lain sebagainya, kini orang-orang juga bisa bekerja sebagai influencer, youtuber, dan sociopreneur.

Meski banyak seruan-seruan skeptis bahwa banyak bidang pekerjaan yang mulai terganti oleh mesin dan kecerdasan buatan (AI), kalau kita melihat dengan sudut pandang lebih luas, sebenarnya banyak pula bidang pekerjaan yang terbuka berkat berkembangnya teknologi itu. Lima tahun lalu saja barangkali tidak akan ada orang yang menyangka bahwa berdiri depan kamera melakukan hal-hal konyol dalam live streaming bisa menjadi “pekerjaan” dengan pendapatan yang lumayan?!

Maka sebagaimana pandangan Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century, tantangan abad ini sebenarnya adalah bagaimana beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat berjalan. Dalam hal pekerjaan, kita mesti mampu mengatasi keadaan dengan tidak terlalu terpaku pada “pekerjaan” lama, dan membuka diri untuk belajar dan bergerak bersama “pekerjaan” baru.

Kita jangan terpaku pada “bekerja membalik tanah,” tapi mesti membuka diri untuk “memasuki rahasia langit dan samodra,”

Apa pun itu, bisa bekerja adalah suatu anugerah tiada tara. Maka sudah selayaknya kita mensyukuri itu dengan menjalankan peran pekerjaan kita sebaik-baiknya.

Meski mungkin ada sisi yang kurang kita sukai, kita tentu bisa belajar untuk mencintai.

..demi kehormatan seorang manusia.

--

--

Ahmad D. Rajiv

Penulis Amatir | The Daydreamer | A Romantic | 500 Kata Saja | Kadang-kadang Puisi ✒️📓