Menikmati Hal-hal Sebagaimana Adanya
Antara Kebutuhan dan Keinginan
Seringkali kita mau menikmati berbagai hal yang jauh di luar kapasitas dan kemampuan kita. Hal-hal yang sebenarnya tidak begitu kita butuhkan. Namun entah mengapa begitu kita inginkan.
Apa kecenderungan pada keinginan semacam itu memang ada dasarnya dalam watak manusia? Atau situasi dan kondisi keterbukaan informasi yang saat ini kita alami punya peran penentu di situ?
Bagaimana tidak, sehari-hari kita disuguhkan oleh beragam rupa kesempurnaan kehidupan yang membuat kita selalu mendongak ke atas. Berusaha menggapai dan mencapai kesempurnaan itu meski tangan kita pendek dan kaki kita tidak mampu menopang besaran hasrat-hasrat itu.
Beribu-ribu tahun yang lalu manusia mampu hidup dengan apa yang ada pada dirinya semata.
Beratus-ratus tahun yang lalu suatu keluarga bisa memenuhi semua kebutuhan dengan apa yang ada di lingkungan mereka sendiri.
Berpuluh tahun yang lalu, kakek nenek kita bisa bertahan dengan kehidupan yang apa adanya di desa-desa mereka.
Sedangkan kita hari ini hampir tak bisa hidup tanpa belanja. Sebagian besar hal yang kita butuhkan tidak bisa kita penuhi sendiri. Kita mesti mengeluarkan uang untuk itu.
Begitulah kenyataan dunia modern. Dunia di mana segala-galanya harus dibeli. Dunia di mana yang punya harta yang punya kuasa. Dunia di mana ongkos ke surga pun mesti ditebus dengan besaran biaya.
Beban-beban pembiayaan itu menjadikan kita malas menikmati hal-hal yang tidak terbeli. Seakan-akan kenikmatan itu hanya ada pada barang-barang yang kita beli. Barangkali karena kita merasa telah mengeluarkan biaya, kita pun merasa puas dan punya hak menikmatinya. Sedangkan hal-hal yang tak terbeli itu, di mata kita mungkin saja tampak tak ada harganya pula.
Tapi tentu kehidupan tidak hanya sebatas itu. Tentu kehidupan itu jauh lebih luas dari sekadar hal-hal material. Meski memang dewasa ini hal-hal material itulah yang tampil seakan-akan sebagai penentu kehidupan.
Kehidupan memiliki dimensi yang lebih dalam, termasuk di dalamnya ada berbagai ragam hubungan sosial, hal-hal yang kita capai sebagai pribadi, serta koneksi kita dengan alam dan dunia di sekitar.
Pada hakikatnya kalau kita mau, kita tentu mampu melepaskan diri dari materi-materi itu. Mampu membawa diri kita ke dalam kehidupan yang punya makna lebih luas, lebih dalam.
Kita bisa, sebenarnya, menikmati hal-hal sebagaimana adanya saja. Tanpa perlu terjerat oleh rantai keinginan yang tak pernah putus. Asal kita mau sadari sendiri apa yang memang benar-benar kita butuhkan dari apa-apa yang sekadar kita inginkan.
Ketika hidup hanya seperlunya saja, kita bukan bikin diri kita jadi kekurangan, kita justru menambah nilai kehidupan kita dengan kelapangan pikiran dan perasaan. Suatu hal yang mampu memenuhi jiwa kita dengan kebahagiaan.
Dalam berbagai kepercayaan, perasaan kecukupan atas kehidupan sebagaimana adanya selalu jadi kunci kebahagiaan. Karena memang ada kelapangan pada keinginan yang tertahan. Kelapangan itu mengarahkan jiwa kepada kebahagiaan.
Saat kita mampu mengenali dan menghargai apa yang secukupnya kita perlukan, kita dapat menemukan kepuasan yang lebih dalam dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan kecukupan dan kemampuan untuk menikmati kehidupan apa adanya akan membimbing kita menuju kebahagiaan yang sejati.
Penting bagi kita untuk melihat kehidupan secara menyeluruh serta menyadari bahwa kebahagiaan tidak semata-mata bergantung pada benda-benda.
Dengan melepaskan diri dari tekanan konsumsi dan menghargai hal-hal yang tak dapat dibeli, kita dapat menemukan makna dalam kehidupan dan kebahagiaan yang semoga saja bertahan lama. Mari menikmati hal-hal sebagaimana adanya.