Merasakan Ramadhan

Kamis, 03 Ramadhan 1445

Ahmad D. Rajiv
4 min readMar 14, 2024
Aku bersama imam yang aku temani, Syech Muzhaffar Al Nawati, dalam kajian pasca tarawih di Masjid Baiturrahman Watukelir, Sukoharjo.

Ramadhan kali ini aku berkesempatan menemani salah seorang imam dari negeri Palestina, tanah amanah, tempat wilayah suci Baitul Maqdis, dan masjid haram ketiga, Masjid Al-Aqsha.

Banyak pelajaran dan pembelajaran yang aku petik dari kegiatan yang baru-baru mulai ini. Tiga hari sebelum Ramadhan kami, aku bersama para penerjemah lain dan juga para imam, telah terlebih dahulu mengikuti daurah yang memperkaya serta memperdalam pemahaman kami atas urusan Baitul Maqdis.

Saat ini, Baitul Maqdis tengah terjajah. Beserta keseluruhan bangsa Palestina di sekelilingnya. Penjajahan paling brutal terjadi di Gaza, suatu daerah kecil di selatan Palestina yang masih mengobarkan perlawanan hingga saat ini.

Gaza ini dapat dibilang adalah pusat perlawanan. Imam yang aku temani, kebetulan adalah kelahiran sana. Saat ini bahkan anak-anak dan keluarganya masih berada di sana. Beberapa keluarganya yang lain telah syahid oleh serangan rudal penjajah.

Dalam setiap kesempatan kami mengisi kajian, baik selepas Tarawih maupun Shubuh, beliau selalu mengingatkan keprihatinan warga Gaza yang sudah “puasa” berbulan-bulan lamanya imbas dari kobaran perang yang dimulai dari operasi Topan Al-Aqsha pada tanggal 7 Oktober 2023 lalu.

Ramadhan harus menjadi momentum bagiku untuk turut meresapi keprihatinan itu. Tiap kali berhadapan dengan makanan dan minuman, terbersit perasaan syukur sekaligus sedih. Syukur karena masih mampu makan dengan nyaman. Sedih karena kenyataan begitu banyak saudara kita yang tidak punya apa-apa.

Pagi tadi, dari saluran WhatsApp Al Jazeera, aku menerima berbagai potret pelaksanaan Ramadhan warga Gaza. Potret-potret tersebut menelusupkan keteduhan dan keharuan. Betapa di tengah-tengah gempuran peperangan, mereka masih mampu menemukan makna Ramadhan dan berbahagia dengan bulan yang penuh berkah ini.

Teks di foto: "Seperti inilah suasana Ramadhan di Gaza".
Seorang ibu memasak hidangan Ramadhan.
Di tengah-tengah rumah yang telah hancur tak bersisa.
Cahaya Ramadhan menerangi hati.
Tetap berbahagia dengan segala keterbatasan yang ada.

Ini sejalan dengan apa yang imamku itu sampaikan juga, bahwa warga Gaza tidak bersedih dengan keadaan penderitaan seperti itu. Meski mereka sudah kehilangan hampir segala-galanya, termasuk nyawa. Mengapa? Karena mereka optimis gerakan perlawanan masih berkobar. Badai Topan Al-Aqsha masih terus berlanjut. Kebahagiaan mereka karena optimis badai tersebut akan mengantarkan Islam menuju pembebasan masjid Al-Aqsha, mengalahkan tekanan penderitaan karena kekurangan makan, dan nyawa yang kehilangan.

Ramadhan tampak begitu terasa di sana. Bulan berkah dan ibadah, dihiasi dengan implementasi pucuk peribadatan, jihad.

Lalu bagaimana Ramadhan yang aku rasakan di sini?

Sayangnya, Ramadhan yang aku rasakan masih didominasi oleh kekenyangan ketimbang perasaan menahan untuk bisa bersimpati pada penderitaan.

Dari data-data yang tersedia juga tampak bahwa perasaanku tersebut ternyata memang berakar dari tradisi di negeri ini.

Tingkat konsumsi saat Ramadhan dalam data-data statistik meningkat berkali-kali lipat dari bulan-bulan lain. Pada bulan yang mengajarkan makna menahan ini, kita justru punya kecenderungan untuk mengalirkan konsumsi secara berlebihan.

Sumber: tirto.id

Ini aspek yang aku rasa menjadi poin penting untuk kita evaluasi dalam diri.

Pada sisi lain, alhamdulillah, ada pula peningkatan pada ibadah-ibadah sosial. Ini sisi yang patut selalu kita syukuri dan apresiasi. Masyarakat muslim menunaikan ibadah-ibadah sosial mereka dengan giat dan semangat. Zakat, infaq, dan sedekah juga turut meningkat berkali-kali lipat dari bulan-bulan lain.

Maka dari itu kegiatanku bersama imam Palestina ini adalah salah satu upaya untuk membantu masyarakat muslim Indonesia menunaikan ibadah-ibadah sosial mereka ke penyaluran yang langsung menuju ujung tombak perjuangan pembebasan Masjid Al-Aqsha.

Perjuangan pembebasan Masjid Al-Aqsha sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari akidah kita. Sehingga selama masjid tersebut masih terjajah, ada satu bagian penting dari akidah kita yang hilang.

Semoga dengan menjadi dari jihad pembebasan itu, Ramadhan yang kita rasakan bisa punya makna yang semakin sempurna.

Sumber: IG Yayasan KITA (Khidmat Indonesia untuk Tanah Amanah).

Terima kasih sudah baca tulisan ini! Kalau berkenan, tolong beri clap (ikon tepuk tangan) sebagai tanda suka. Kamu bisa beri sampai 50 clap, jadi jangan ragu untuk beri sebanyak-banyaknya ya! Terima kasih atas apresiasinya 😊🙏

--

--

Ahmad D. Rajiv

Penulis Amatir | The Daydreamer | A Romantic | 500 Kata Saja | Kadang-kadang Puisi ✒️📓